Dunia Diramal Akan Resesi, Apa Kabar Indonesia?

Haloo, apa kabar rekan-rekan pembaca yang budiman? Semoga dalam keadaan baik dan sehat yaa. Udah baca berita tentang ekonomi nasional dan dunia belum? Beberapa hari yang lalu, penulis membaca berita tentang prediksi perekonomian global yang akan resesi. Ngeri-ngeri sedaap gimana gitu denger kata ‘resesi’. Headline ‘ekonomi global akan terkontraksi…..” hampir setiap saat penulis lihat di layar ponsel. Hmm, menarik buat kita ulas pada artikel kali ini nih.

Isu resesi ekonomi sebenarnya bukan kali ini digembar-gemborkan di media massa. Sejak kuartal 3 2019, isu resesi sudah banyak diangkat oleh media massa, khususnya media dari Amerika Serikat. Seingat penulis, pada kuartal 3 2019, pernah dilakukan survey kepada para fund manager di AS. Berdasarkan hasil survey tersebut, mayoritas fund manager menyatakan bahwa tahun 2020 akan terjadi resesi ekonomi. Tidak hanya dari data survey saja, tetapi tanda-tanda resesi ekonomi sudah mulai nampak dari tingkat yield obligasi pemerintah AS.

Domino Effect

Masih pada periode yang sama, yield obligasi pemerintah AS jatuh tempo 10 tahun lebih rendah daripada yield obligasi jatuh tempo 5 tahun (angka tahun persisnya penulis agak lupa).  Yield merupakan acuan investor dalam berinvestasi obligasi karena mencerminkan coupon rate, tenor, dan risiko dalam satu angka. Wajarnya, obligasi dengan jatuh tempo lebih lama, memiliki yield lebih tinggi. Sebab, risiko yang dimiliki lebih besar. Namun, kali ini terjadi sebuah fenomena yang disebut inversi. Inversi adalah fenomena ketika yield obligasi dengan jatuh tempo singkat lebih tinggi daripada yield obligasi dengan jatuh tempo lama. Misalnya, yield obligasi dengan jatuh tempo 3 tahun lebih tinggi daripada yield obligasi dengan jatuh tempo 5 tahun. Maka, fenomena itu disebut inversi.

Pada tahun ini, isu resesi tampak nyata. Pandemi Covid-19 yang menyebar hampir di seluruh negara mengakibatkan banyak negara yang menerapkan kebijakan lockdown. Kebijakan tersebut berimbas pada aktivitas ekonomi negara. Kebijakan lockdown memunculkan domino effect bagi perekonomian. Akibat lockdown, perusahaan mengeluarkan kebijakan work from home (WFH). Hal ini tentu saja mengakibatkan industri, terkhusus manufaktur, pariwisata, perhotelan, dan konstruksi, mengalami penghentian operasi. Efek penghentian operasi membuat perusahaan terpaksa merumahkan karyawan, bahkan melakukan PHK. Ngga sampai di situ aja, terciptanya pengangguran baru mendorong lemahnya daya beli masyarakat. Lemahnya daya beli masyarakat berdampak pada pelemahan ekonomi secara nasional.

Bank Dunia melaporkan bahwa ekonomi dunia akan terkontraksi -5,2% pada tahun ini. Menurut Bank Dunia, krisis tahun 2020 menjadi krisis ekonomi terburuk sejak Perang Dunia II. Ngga cuma ekonomi negara maju saja, ekonomi negara berkembang turut terpengaruh oleh krisis. Negara di kawasan Asia Tenggara pun termasuk diantaranya yang diperkirakan mengalami kontraksi. Dikutip dari CNBC Indonesia (17/6/2020), Thailand misalnya, diramalkan mengalami kontraksi ekonomi sebesar -5%. Lalu, Malaysia sebesar -3,1%, Filipina sebesar -1,9%, bahkan Singapura sebesar -7%.

Sumber: CNBC Indonesia

Indonesia gimana?

Beberapa negara maju didunia secara teknis sudah masuk ke dalam jurang resesi diantaranya Jerman dan Jepang. Kedua negara tersebut telah membukukan kontraksi ekonomi sejak kuartal IV tahun 2019. Berdasarkan rilis data ekonomi kedua negara, pada kuartal I 2020, Jerman dan Jepang sama-sama membukukan kontraksi ekonomi. Jika kuartal II 2020 kedua negara kembali membukukan kontraksi ekonomi, maka praktis kedua negara masuk ke dalam jurang resesi. Hmmm, sangat mengkhawatirkan…

Lalu, bagaimana dengan Indonesia? Berdasarkan laporan dari Bank Dunia, ekonomi Indonesia diperkirakan berada di level 0% alias tidak tumbuh. Senada dengan Bank Dunia, Menteri Keuangan Sri Mulyani mengatakan bahwa Indonesia akan terhindar dari resesi. Menkeu memprediksi kontraksi hanya akan terjadi di kuartal II 2020 saja, kuartal III akan pulih mendekati 0%, dan kuartal IV akan membaik. Salah satu bank investasi terbesar AS, Morgan Stanley, juga menyatakan jika perekonomian Indonesia dapat cepat pulih setelah pandemi berakhir. Mereka memperkirakan ekonomi Indonesia akan pulih pada kuartal I 2021 lebih cepat daripada negara tetangga seperti Malaysia dan Singapura.

Sumber: Forbes

Faktor apa sih yang membuat Indonesia bisa ‘pulih’ lebih cepat? Faktor yang paling berpengaruh adalah konsumsi rumah tangga yang besar. Konsumsi rumah tangga menyumbang sekitar 60% dari total PDB. On the other hand, Indonesia ngga terlalu bergantung pada ekspor. Tercatat ekspor cuma nyumbang ngga sampai 15% dari PDB nasional kok. Rendahnya ketergantungan Indonesia pada ekspor, kali ini membawa berkah. Sebab, ekonomi nasional ngga terlalu ‘goyah’ saat dilanda pandemi seperti ini. Memang, kalau dalam kondisi normal, ekonomi Indonesia ngga bisa tumbuh tinggi. Kalah cepat dengan negara-negara yang mengandalkan ekspor sebagai komponen utama pembentuk PDB. Akan tetapi, dalam keadaan tidak normal seperti ini, sebaliknya, Indonesia justru diuntungkan. Negara-negara yang mengandalkan ekspor akan sangat ‘tersiksa’.

Saran buat investor saham

Apa yang perlu investor lakukan? Pertama, investor perlu memahami emiten yang akan dibeli sahamnya. Investor harus tahu saham apa yang dia beli. Jangan sampai enggak! Ini dasar banget, tetapi sering diabaikan. Kedua, perbanyak baca berita ekonomi. Terutama yang berkaitan dengan bursa, makro, dan geopolitik. Nambah wawasan kita buat mengambil keputusan. Terakhir, berani ambil keputusan! Ini nih momen yang paling krusial dalam investasi, mengambil keputusan. Keputusan merupakan eksekusi atas sebuah analisis yang dilakukan oleh investor. Keputusan investasi bisa tepat atau meleset. Makanya, investor perlu banget nambah wawasan biar keputusan yang diambil ngga meleset. Kalau pun meleset, ngga jauh-jauh banget.

Penulis rasa sudah cukup artikel pada kali ini. Artikelnya sudah panjang hehe. Jadi intinya, prediksi para ahli, Indonesia akan aman dari resesi ekonomi. Akan tetapi, bukan berarti kita sebagai investor ngga bersiap. Tetap perlu bersiap dengan perbanyak membaca dan mengelola portofolio saham masing-masing. Ingat, setiap investor punya ‘gaya’ investasinya masing-masing. Ngga bisa disamakan. Oke, sampai jumpa di artikel lain yaa…

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *